Buat yang punya facebook, pasti pernah ngeliat kan ada banyak yang nulis berbagai jenis status.. mulai dari status yang seneng, sedih, galau, alay, lebay ataupun yang lainnya.. sampe-sampe lagi boker aja ada yang nulis status, "mau boker dulu ah.. kebelet.~" hahaha (Tapi gue ngga pernah nulis status kaya gitu loh.. SUMPAH!!)
Suatu hari gue pernah nemuin suatu cerita yang bagus banget dari Fan Page nya chocolatos.. yang judulnya sama kaya judul postingan gue ini. Saking bagusnya sampe-sampe gue copy juga ke notes atau catatan facebook gue. Buat yang mau ngeliat facebook gue, nih alamatnya http://www.facebook.com/fajri.ramadhan93 (promosi dikit~). twitter juga ada kok, @JRIEJRI (sekalian promosi juga~).
Images from: Mbah Google... |
Sayang rasanya kalo gue ngga membagikan cerita bagus ini ke semua orang.. jadi pada kesempatan yang berbahagia kali ini, gue mau share ceritanya. Agak panjang sih.. tapi baca sampe abis ya.. Check This Out!!
(*Copy Paste dari Facebook)
Ini adalah cerita sebenarnya (diceritakan oleh Lu Di dan di edit oleh Lian Shu Xiang)
Sebuah
salah pengertian yg mengakibatkan kehancuran sebuah rumah tangga.
Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi segalanya
sudah terlambat. Membawa nenek utk tinggal bersama menghabiskan masa
tuanya bersama kami, malah telah menghianati ikrar cinta yg telah kami
buat selama ini, setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju
menjemput nenek di kampung utk tinggal bersama.
Sejak
kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah satu-satunya
harapan nenek, nenek pula yg membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga
tamat kuliah.
Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera
menyiapkan sebuah kamar yg menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat
berjemur, menanam bunga dan sebagainya. Suami berdiri didepan kamar yg
sangat kaya dgn sinar matahari, tidak sepatah katapun yg terucap
tiba-tiba saja dia mengangkat saya dan memutar-mutar saya seperti adegan
dalam film India dan berkata : “Mari,kita jemput nenek di kampung”.
Suami
berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke
dadanya yg bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku
seperti sebuah boneka kecil yg kapan saja bisa diangkat dan dimasukan
kedalam kantongnya. Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka
tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya dan
diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku
sungguh menikmati saat-saat seperti itu.
Kebiasaan nenek
di kampung tidak berubah. Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga
segar, sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan berkata kepada suami :
“Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa
dimakan?” Aku menjelaskannya kepada nenek : “Ibu, rumah dengan bunga
segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira.
“Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa : “Ibu,
ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga.”
Nenek
tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa
bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga
itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia
selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab, dia
selalu berdecak dengan suara keras. Suamiku memencet hidungku sambil
berkata : “Putriku, kan kamu bisa berbohong.Jangan katakan harga yang
sebenarnya.” Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai
terusik.
Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku
bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata nenek
seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan.
Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku sengaja seperti
tidak mengetahuinya. Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat
makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes.
Aku
adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat
letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi
apalagi disaat musim dingin. Nenek kadang juga suka membantuku di dapur,
tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya ; dia suka
menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk
dijual katanya. Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong
plastik, dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua
kumpulan kantong plastik.
Kebiasaan nenek mencuci piring
bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci, agar supaya dia tidak
tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah
tidur. Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci piring malam
harinya, dia segera masukke kamar sambil membanting pintu dan menangis.
Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang bisu, aku
coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku menjadi
kecewa dan marah. “Apa salahku?” Dia melotot sambil berkata : “Kenapa
tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan dengan pring itu bisa membuatmu
mati?”
Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg
culup lama, suasana mejadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak
tahu harus berpihak pada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan suamiku
masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan
sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat
suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemohku
sewaktu melihat padaku, seakan berkata dimana tanggung jawabmu sebagai
seorang istri?
Demi menjaga suasana pagi hari tidak
terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja.
Saat tidur, suami berkata : “Lu di, apakah kamu merasa masakan ibu
tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?”
sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yg
mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata : “Anggaplah
ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi. “Aku
mengiyakannya dan kembali ke meja makan yg serba canggung itu.
Pagi
itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu
perasaan yg sangat mual menimpaku, seakan-akan isi perut mau keluar
semua. Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku
segera mengeluarkan semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat
suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar
mata yg tajam, diluar sana terdengar suara tangisan nenek dan
berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa
bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!
Pertama
kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suamiku, nenek
melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh……suamiku segera
mengejarnya keluar rumah.
Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke
rumah dan tidak juga meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak
kedatangan nenek di rumah ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana
lagi? Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan
ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat
menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku berkata : “Lu Di, sebaiknya kamu
periksa ke dokter. “Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Aku
baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah berita gembira yg
terselip juga kesedihan. Mengapa suami dan nenek sebagai orang yg
berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?
Di pintu
masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak bertemu dia berubah
drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa
iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia melihat ke arahku tetapi
seakan akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan
kebencian dan itu melukaiku. Aku berkata pada diriku sendiri, jangan
lagi melihatnya dan segera memanggil taksi. Padahal aku ingin
memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dan
berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku
minta ampun tetapi…..mimpiku tidak menjadi kenyataan. Didalam taksi
air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalah pahaman ini berakibat
sangat buruk?
Sampai di rumah aku berbaring di ranjang
memikirkan peristiwa tadi, memikirkan sinar matanya yg penuh dengan
kebencian, aku menangis dengan sedihnya. Tengah malam, aku mendengar
suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dgn wajah
berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Aku
nenatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku
saja dan segera berlalu. Sepertinya dia sudah memutuskan utk
meninggalkan aku. Sungguh lelaki yg sangat picik, dalam saat begini dia
masih bisa membedakan antara cinta dengan uang. Aku tersenyum sambil
menitikan air mata.
Aku tidak masuk kerja keesokan
harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku akan
membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya di kantornya. Di
kantornya aku bertemu dengan seketarisnya yg melihatku dengan wajah
bingung. “Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas
dan sedang berada di rumah sakit. Mulutku terbuka lebar. Aku segera
menuju rumah sakit dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal. Suamiku
tidak pernah menatapku, wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek yg
terbujur kaku. Sambil menangis aku menjerit dalam hati : “Tuhan, mengapa
ini bisa terjadi?”
Sampai selesai upacara pemakaman,
suamiku tidak pernah bertegur sapa denganku, jika memandangku selalu
dengan pandangan penuh dengan kebencian. Peristiwa kecelakaan itu aku
juga tahu dari orang lain, pagi itu nenek berjalan ke arah terminal,
rupanya dia mau kembali ke kampung. Suamiku mengejar sambil berlari,
nenek juga berlari makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yg datang
ke arahnya dengan kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku
penuh dengan kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu,jika kami tidak
bertengkar, jika…………dimatanya, akulah penyebab kematian nenek.
Suamiku
pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh
dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi juga
merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua
ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera
mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah
menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya
walaupun ini bukan salahku. Waktu berlalu dengan sangat lambat. Kami
hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia pulang
makin larut malam. Suasana tegang didalam rumah.
Suatu
hari, aku berjalan melewati sebuah café, melalui keremangan lampu dan
kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita didalam.
Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra. Aku tertegun dan
mengerti apa yg telah terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di depan
mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga tidak
berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus berkata apa. Sang gadis
melihatku dan ke arah suamiku dan segera hendak berlalu. Tetapi dicegah
oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yg tidak
kalah tajam dariku. Suara detak jangtungku terasa sangat keras, setiap
detak suara seperti suara menuju kematian. Akhirnya aku mengalah dan
berlalu dari hadapan mereka, jika tidak…mungkin aku akan jatuh bersama
bayiku dihadapan mereka.
Malam itu dia tidak pulang ke
rumah. Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Sepeninggal
nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah berakhir. Dia
tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku
mendapati lemari seperti bekas dibongkar. Aku tahu dia kembali mengambil
barang-barang keperluannya. Aku tidak ingin menelepon dia walaupun
kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini. Tetapi itu
tidak terjadi………, semua berlalu begitu saja.
Aku mulai
hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri. Setiap kali
melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama, hati ini
serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar aku membuang saja bayi ini,
tetapi aku seperti orang yg sedang histeris mempertahankan miliknya.
Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.
Suatu
hari pulang kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang tamu. Ruangan
penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas diatas meja, tidak
perlu tanya aku juga tahu surat apa itu. 2 bulan hidup sendiri, aku
sudah bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi aku berkata
kepadanya : “Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya”. Dia
melihatku dengan pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku berkata
pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini terasa
sakit sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.
Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia
memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku
menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya. “Lu di, kamu
hamil?” Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara
kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yg menglir keluar
dengan derasnya. Aku menjawab : “Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah
boleh pergi”. Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling
berpandangan. Perlahan-lahan dia membungkukan badanya ke tanganku, air
matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua
sudah berlalu, banyak hal yg sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.
Entah
sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata : “Maafkan aku,
maafkan aku”. Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa.
Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta
diantara kami telah ada sebuah luka yg menganga. Semua ini adalah
sebuah akibat kesengajaan darinya.
Berharap dinding es
itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan pernah kembali.
Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup.
Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua
makanan pembelian dia, tidak menerima semua hadiah pemberiannya tidak
juga berbicara lagi dengannya. Sejak menanda tangani surat itu, semua
cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.
Kadang
dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu
ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar nenek. Malam hari,
terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek tetapi aku tidak
perduli. Itu adalah permainan dia dari dulu. Jika aku tidak perduli
padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan
bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memelukku sambil tertawa
terbahak-bahak. Dia lupa…….., itu adalah dulu, saat cintaku masih
membara, sekarang apa lagi yg aku miliki?
Begitu
seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang sampai
anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang
perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untuk
anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan
barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku tetapi aku tidak
bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar, malam hari dari
kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia
lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku. Bagiku
itu bukan lagi suatu masalah.
Suatu malam di musim semi,
perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara
yg keras. Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak
pernah tidur. Saat inilah yg ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya
dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia
mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin yg mengalir
di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang
bersalin. Di punggungnya yg kurus kering, aku terbaring dengan hangat
dalam dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yg mencintaiku
sedemikian rupa jika bukan dia?
Sampai dipintu ruang
bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang saat aku
didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat
tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan
anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia. Aku
memegang tanganya, dia membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum
dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku berteriak histeris
memanggil namanya.
Setelah sadar, dia tersenyum tetapi
tidak bisa membuka matanya………aku pernah berpikir tidak akan lagi
meneteskan sebutir air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak
demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit saat ini. Kata dokter,
kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan
sampai hari ini sudah merupakan sebuah mukjijat. Aku tanya kapankah
kanker itu terdeteksi? 5 bulan yg lalu kata dokter, bersiap-siaplah
menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi perduli dengan nasehat
perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke kamar nenek lalu menyalakan
komputer.
Ternyata selama ini suara orang mengerang
adalah benar apa adanya, aku masih berpikir dia sedang
bersandiwara…………Sebuah surat yg sangat panjang ada di dalam komputer yg
ditujukan kepada anak kami. “Anakku, demi dirimu aku terus bertahan,
sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku. Aku tahu dalam hidup
ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan,
sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu tetapi ayah tidak
mempunyai kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah mencoba
memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yg akan
kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah.
“Anakku,
selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama
bertahun -tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh
menderita, dia adalah orang yg paling mencintaimu dan adalah orang yg
paling ayah cintai”.
Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi
sejak TK, SD, SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap
didalamnya. Dia juga menulis sebuah surat untukku. “Kasihku, dapat
menikahimu adalah hal yg paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini.
Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang
penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya.
Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau
telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini.
Hadiah-hadiah
ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannyapada anak kita. Pada
bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya”.
Kembali
ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong anak
kami dan membaringkannya diatas dadanya sambil berkata : “Sayang,
bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan
kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya”. Dengan susah payah dia
membuka matanya, tersenyum…………..anak itu tetap dalam dekapannya, dengan
tanganya yg mungil memegangi tangan ayahnya yg kurus dan lemah. Tidak
tahu aku sudah menjepret berapa kali momen itu dengan kamera di tangan
sambil berurai air mata………………..
Teman-teman terkasih, aku
sharing cerita ini kepada kalian, agar kita semua bisa menyimak pesan
dari cerita ini. Mungkin saat ini air mata kalian sedang jatuh mengalir
atau mata masih sembab sehabis menangis, ingatlah pesan dari cerita ini
: “Jika ada sesuatu yg mengganjal di hati diantara kalian yg saling
mengasihi, sebaiknya utarakanlah jangan simpan didalam hati. Siapa tau
apa yg akan terjadi besok? Ada sebuah pertanyaan : Jika kita tahu besok
adalah hari kiamat, apakah kita akan menyesali semua hal yg telah kita
perbuat? atau apa yg telah kita ucapkan? Sebelum segalanya menjadi
terlambat, pikirlah matang2 semua yg akan kita lakukan sebelum kita
menyesalinya seumur hidup.
Panjang kan... tapi mudah-mudahan bermanfaat buat semuanya. Salam GALAU!!
2 komentar:
kalo ngambek ntar gak dikasih kopi ya sob heeheee.... yg jls klo sama temen, konflik sebentar itu biasa.. yg jls jgn sampe perbedaan menyebabkan perpecahan :)
hehehe iya.. bhinneka tunggal ika :D
Posting Komentar